Konvergensi
standar akuntansi dapat dilakukan dengan 3 cara yaitu, harmonisasi
(membuat standar sendiri yang tidak berkonflik dengan IFRS), adaptasi
(membuat standar sendiri yang disesuaikan dengan IFRS), atau adopsi
(mengambil langsung dari IFRS). Indonesia memilih untuk melakukan
adopsi. Namun bukan adopsi penuh, mengingat adanya perbedaan sifat
bisnis dan regulasi di Indonesia. Oleh karena itu, saat ini Standar
Akuntansi Keuangan milik Indonesia sebagian besar sudah sama dengan
IFRS.
Indonesia
melakukan konvergensi IFRS ini karena Indonesia (diwakili Presiden SBY)
sudah memiliki komitmen dalam kesepakatan negara-negara G-20. Tujuan
dari kesepakatan tersebut adalah untuk meningkatkan transparansi dan
akuntabilitas dalam pelaporan keuangan. Selain itu, konvergensi IFRS ini
memiliki manfaat lain seperti meningkatkan arus investasi global
melalui keterbandingan laporan keuangan (saat ini sekitar 120 negara
sudah berkomitmen untuk melakukan konvergensi dengan IFRS). Konvergensi
ini seharusnya dicapai Indonesia pada tahun 2008 lalu, namun karena
beberapa hal, DSAK (Dewan Standar Akuntansi Keuangan) berkomitmen bahwa
konvergensi akan dicapai pada 1 Januari 2012. Kegagalan Indonesia untuk
mencapai konvergensi pada tahun 2008 ini harus dibayar dengan masih
tingginya tingkat suku bunga kredit untuk Indonesia yang ditetapkan oleh
World Bank. Hal ini dikarenakan World Bank menganggap investasi di
Indonesia masih berisiko karena penyajian laporan keuangan masih
menggunakan Standar Akuntansi buatan Indonesia (belum IFRS).
SAK
yang dikonvergensikan dengan IFRS ini diterapkan pada entitas-entitas
yang memiliki fungsi fidusia (memegang kepentingan orang banyak) atau
disebut juga dengan berakuntabilitas publik. Contoh entitas yang
memiliki fungsi fidusia adalah entitas perbankan, BUMN, dan entitas yang
menjual saham di pasar modal. Komponen utama dari SAK adalah Pernyataan
Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) yang diadopsi dari International
Accounting Standard (IAS) dan International Financial Reporting Standard
(IFRS), dan Intepretasi atas Standar Akuntansi Keuangan (ISAK) yang
diadopsi dari SIC (Standard Intepretation Committee) dan IFRIC
(International Financial Reporting Intepretation Committee). Hal ini
berarti bahwa IFRSs terdiri dari IAS, IFRS, SIC, dan IFRIC.
Perbedaannya, IAS dibuat oleh International Accounting Standards
Committee (IASC) organisasi pendahulu IASB yang berdiri pada tahun 1973.
IASC ini kemudian direstrukturisasi menjadi IASB pada tahun 1999. Pada
tahun 2001, IASC menjadi foundation (IASCF) yang mendanai IASB.
Sejak saat itu, IASB meneruskan tugas dari IASC. Untuk membedakan
produk buatan IASC dan IASB, standar-standar yang selanjutnya dibuat
oleh IASB dinamai dengan IFRS. SIC dibuat oleh Standards Intepretation
Committee, suatu komite khusus yang berfungsi membuat intepretasi dari
IAS yang principle based. Intepretasi ini sifatnya menjelaskan
lebih lanjut mengenai hal-hal yang lebih detail. IFRIC dibuat oleh
International Financial Reporting Intepretation Committee, suatu komite
khusus yang berfungsi membuat intepretasi dari IFRS.
Entitas
yang tidak memiliki fungsi fidusia atau entitas yang memiliki fungsi
fidusia namun diijinkan regulatornya (sebagai contoh adalah BPR),
menggunakan SAK ETAP (Standar Akuntansi Keuangan Entitas Tanpa
Akuntabilitas Publik). Hal ini berdasarkan pertimbangan biaya manfaat
dalam penyajian laporan keuangan, yang mana biaya penyajian laporan
keuangan jangan sampai terlalu besar sehingga tidak sesuai dengan
manfaatnya. Untuk entitas tanpa akuntabilitas publik, kebanyakan manfaat
laporan keuangan adalah untuk pemilik. Dalam hal ini, penerapan
persyaratan SAK (yang konvergen dengan IFRS) untuk entitas tanpa
akuntabilitas publik akan menghabiskan banyak biaya yang tidak akan
sebanding dengan manfaatnya. Seperti misalnya pengukuran dengan nilai
wajar, atau persyaratan pengungkapan informasi yang cukup banyak.
Pengaturan dalam SAK ETAP berdasarkan pada prinsip pervasif. Dalam
prinsip ini, Kerangka Dasar Penyajian dan Pelaporan Keuangan (KDPPLK)
yang dalam SAK bukan merupakan bagian dari standar, dijadikan bagian
dari standar ETAP yang memiliki kekuatan mengatur. Selain itu, SAK ETAP
masih menggunakan konsep biaya historis (historical cost). Contoh entitas tanpa akuntabilitas publik adalah UMKM dan perusahaan privat.
Indonesia
yang mayoritas penduduknya adalah muslim, saat ini sudah memiliki
banyak produk-produk keuangan syariah. Dalam hal ini, entitas-entitas
yang melakukan transaksi syariah, harus melaporkan transaksi syariah
tersebut menggunakan Standar Akuntansi Keuangan Syariah (SAK Syariah).
Oleh karena itu, saat ini di Indonesia bisa jadi satu entitas yang
berakuntabilitas publik (sebagai contoh perbankan) akan melaporkan
transaksi konvensionalnya menggunakan SAK dan melaporkan transaksi
syariahnya menggunakan SAK Syariah.
Di
dunia ini, selain entitas bisnis terdapat juga entitas non-bisnis yang
melakukan kegiatan tanpa berorientasi laba. Entitas non-bisnis ini biasa
juga disebut sebagai entitas sektor publik (public sector entity) yang terbagi menjadi pemerintahan dan organsiasi non pemerintahan (non governmental organisation).
Secara internasional, akuntansi untuk entitas sektor publik diatur oleh
International Public Sector Accounting Standards Board (IPSASB) dengan
produknya yang disebut dengan IPSAS. IPSAS ini diterapkan untuk entitas
sektor publik seperti misalnya pemerintahan, lembaga sosial
kemasyarakatan, yayasan, dan partai politik. Di Indonesia, pengaturan
untuk sektor publik dipisahkan. Entitas pemerintahan menggunakan Standar
Akuntansi Pemerintahan (SAP) yang disusun oleh komite standar akuntansi
pemerintahan, sedangkan entitas nirlaba menggunakan PSAK 45: Pelaproan
Keuangan Organisasi Nirlaba. Sementara ini PSAK 45 masih menjadi bagian
SAK. Di masa depan, PSAK 45 ini akan dipisahkan menjadi standar
akuntansi tersendiri mengingat perbedaan tujuan entitas, tujuan
pelaporan, dan rerangka konseptual.
Di
dunia internasional, IFRS telah diadopsi oleh banyak negara, termasuk
negara-negara Uni Eropa, Afrika, Asia, Amerika Latin dan Australia. Di kawasan Asia, Hong Kong,
Filipina dan Singapura pun telah mengadopsinya. Sejak 2008,
diperkirakan sekitar 80 negara mengharuskan perusahaan yang telah
terdaftar dalam bursa efek global menerapkan IFRS dalam mempersiapkan
dan mempresentasikan laporan keuangannya.
Dalam konteks Indonesia,
konvergensi IFRS dengan Pedoman Standar Akuntansi Keuangan (PSAK)
merupakan hal yang sangat penting untuk menjamin daya saing nasional.
Perubahan tata cara pelaporan keuangan dari Generally Accepted Accounting Principles (GAAP),
PSAK, atau lainnya ke IFRS berdampak sangat luas. IFRS akan menjadi
“kompetensi wajib-baru� bagi akuntan publik, penilai (appraiser), akuntan manajemen, regulator dan akuntan pendidik. Mampukah para pekerja accounting
menghadapi perubahan yang secara terus-menerus akan dilakukan untuk
memenuhi kebutuhan pasar global terhadap informasi keuangan?
Bagaimanakah persiapan Indonesia untuk IFRS ini?Sejak 2004, profesi akuntan di Indonesia telah melakukan harmonisasi antara PSAK/Indonesian GAAP dan IFRS. Konvergensi IFRS diharapkan akan tercapai pada 2012. Walaupun IFRS masih belum diterapkan secara penuh saat ini, persiapan dan kesiapan untuk menyambutnya akan memberikan daya saing tersendiri untuk entitas bisnis di Indonesia.
Dengan kesiapan adopsi IFRS sebagai standar akuntansi global yang tunggal, perusahaan Indonesia akan siap dan mampu untuk bertransaksi, termasuk merger dan akuisisi (M&A), lintasnegara. Tercatat sejumlah akuisisi lintasnegara telah terjadi di Indonesia, misalnya akuisisi Philip Morris terhadap Sampoerna (Mei 2005), akuisisi Khazanah Bank terhadap Bank Lippo dan Bank Niaga (Agustus 2005), ataupun UOB terhadap Buana (Juli 2005). Sebagaimana yang dikatakan Thomas Friedman, “The World is Flat”, aktivitas M&A lintasnegara bukanlah hal yang tidak lazim. Karena IFRS dimaksudkan sebagai standar akuntansi tunggal global, kesiapan industri akuntansi Indonesia untuk mengadopsi IFRS akan menjadi daya saing di tingkat global. Inilah keuntungan dari mengadopsi IFRS.
Bagi pelaku bisnis pada umumnya, pertanyaan dan tantangan tradisionalnya: apakah implementasi IFRS membutuhkan biaya yang besar? Belum apa-apa, beberapa pihak sudah mengeluhkan besarnya investasi di bidang sistem informasi dan teknologi informasi yang harus dipikul perusahaan untuk mengikuti persyaratan yang diharuskan. Jawaban untuk pertanyaan ini adalah jelas, adopsi IFRS membutuhkan biaya, energi dan waktu yang tidak ringan, tetapi biaya untuk tidak mengadopsinya akan jauh lebih signifikan. Komitmen manajemen perusahaan Indonesia untuk mengadopsi IFRS merupakan syarat mutlak untuk meningkatkan daya saing perusahaan Indonesia di masa depan.
sumber: http://rizanirwansyah.blogspot.com/2011/02/akuntansi-internasional-konvergensi.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar